Monday, January 27, 2014

Lucky No.14 Reading Challenge [Master Post]

Oke. Saya jadi keranjingan blogwalking terutama setelah ikutan New Authors Reading Challenge 2014 ke teman-teman sesama blogger buku yang ternyataaaaaa...bertebaran di dunia maya ini dan buanyaaak yang keren-keren. Ya ampun, kemana aja saya selama ini yaa.. *tepok jidat*

Walaupun saya adalah blogger buku kemarin sore, asli bener-bener kemarin sore karena publish blog ini juga baru kemarin sore (tuh postingannya aja masih bisa diitung pake jari tangan :D), tapi sebagaimana pernah saya bilang duluuu *lupa di postingan yang mana* *halah* sebenernya saya ini punya hobi baca dari sejak masih krucil. Hobi yang sempat beralih dari buku atau novel ke majalah. Jadi ada juga masa-masa yang cukup lama di mana bacanya cuma majalah, sampai stok majalah bekas menumpuk di gudang. Hingga akhirnya tobat, dan balik ke buku / novel lagi. :D

Oke. Sampai mana kita tadi?

Nah, setelah beberapa hari ini blogwalking ke teman-teman blogger buku, salah satunya ke blognya Riri @ My Heaven of Books, akhirnya nemu postingan Reading Challenge (RC) ribet ini. Ribet, karena RC ini punya 14 kategori yang berbeda satu sama lain. Tapi dengan banyaknya kategori itu, justru jadi seru. Dan ini kesempatan bagus untuk menghabiskan timbunan buku. 

Hah? Timbunan buku?

Iyaaa, walaupun saya blogger buku amatiran, tapi udah suka baca dari dulu, konsekuensinya jadi kalo mampir toko buku pasti ujung-ujungnya keluar toko buku nenteng tas keresek belanjaan. Nah, pas hobi baca-baci itu beralih ke majalah selama beberapa waktu, buku-buku yang udah kadung dibeli jadi nggak kebaca. Sayang kaaaan...  

Mumpung ada RC ini, kesempatan nih buat "maksa" ngabisin timbunan buku yang walaupun nggak banyak-banyak amat, tapi lumayan lah. :D

Kali ini namanya Lucky No.14 Reading Challenge yang di-host sama Mbak Astrid. RC ini meminta kita untuk membaca 14 buku (atau lebih) dari 14 kategori berikut ini :

1. Visit The Country: Read a book that has setting in a country that you really want to visit in real life. Make sure the setting has a big role in the book and it can make you know a little bit more about your dream destination. 
--> Shopaholic Takes Manhattan. Ini ga tau dah buku jaman kapan, namanya juga ngubek-ubek timbunan. :D Kali aja habis baca dan ngereview ini buku, tau-tau ada biro perjalanan yang nawarin saya jadi duta buku ke New York. *ngarep*



2. Cover Lust: Pick a book from your shelf that you bought because you fell in love with the cover. Is the content as good as the cover?
--> Sebenernya buku The Chocolate Thief tempo hari cocok untuk ini, karena alasan beli pertama karena sampulnya, tapi kan udah dibaca ya. Bukan challenge lagi dong namanya. Baiklah, kalau begitu kesempatan buat beli yang baru. Kan, ada alasannya, biar punya buku untuk kategori nomor dua. *ngeles*

--> Update: Akhirnya dapat juga buku kategori ini. Saya membeli buku ini karena tertarik pada kavernya, yang manis sekali menurut saya. Summer of Love yang ditulis Katie Fforde, semoga menjadi cerita musim panas yang sehangat dan semanis kavernya. :)



3. Blame it on Bloggers: Read a book because you’ve read the sparkling reviews from other bloggers. Don’t forget to mention the blogger’s names too! --> Melbourne : Rewind. Buku ini saya beli pas iseng lewat Gramedia, ujug-ujug inget bahwa ini buku udah beberapa kali nongol di blog teman-teman, salah satunya Dinoy's Books Review dan konon kabarnya lumayan bagus. Jadi beli daaah... :D




4. Bargain All The Way: Ever buying a book because it’s so cheap you don’t really care about the content? Now it’s time to open the book and find out whether it’s really worth your cents.
--> Jemima J. Beli murah di toko buku bekas depan Stasiun Bogor seharga sepuluh ribu perak saja. :D




5. (Not So) Fresh From the Oven: Do you remember you bought/got a new released book last year but never had a chance to read it? Dig it from your pile and bring back the 2013.
--> Pulang. Pemenang Khatulistiwa Literary Award 2013 ini saya beli tahun lalu, namun belum sempat saya baca. Mungkin memang harus menunggu RC seperti ini untuk membacanya. ;)



6. First Letter’s Rule: Read a book which title begins with the same letter as your name (for me, Astrid means A, and I can read anything that started with the letter A). Remember: Articles like “a”, “an” or “the” doesn’t count :D
--> Ini, juga belum punya. Di timbunan nggak ada yang sesuai.

7. Once Upon a Time: Choose a book that’s been published for the first time before you were born (not necessarily has to be a classic book, just something a little bit older than you is okay. You can read the most recent edition if you want to)
--> Anak Semua Bangsa. Terbitan pertamanya sedikiiiit lebih tua daripada saya. Kemudian dilarang beredar selama bertahun-tahun, dan kini diterbitkan kembali. Bagian dari Tetralogi Buru dan juga bagian dari timbunan buku. :D



8. Chunky Brick: Take a deep breath, and read a book that has more than 500 pages. Yep, the one that you’ve always been afraid of!
--> The Girl with the Dragon Tattoo. It has 538 pages, in english edition. Bagus. Gak kebayang bakalan berapa luammaa baca ini. Modalnya cuman satu waktu beli, nekaaattt..



9.  Favorite Author: You like their books, but there are too many titles. This is your chance, choose a book that’s been written by your fave author but you haven’t got time to read it before.
--> Jejak Langkah. Bagian ketiga dari Tetralogi Buru. Lah, Buru lagi? Hehehe.. Namanya juga ngubek-ubek timbunan buku dan dipas-pasin. Tapi memang kok, Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu penulis favorit-sepanjang-masa saya. :)



10. It’s Been There Forever: Pick up a book that has been there on your shelf for more than a year, clean up the dust and start to read it now :D
--> Hafalan Shalat Delisa. Bukunya sampai kuning karena udah lama banget digeletakin begitu aja. :D


 
11. Movies vs Books: You’ve seen the movie adaptation (or planned to see it soon) but never had time to read the book. It’s time to read it now, so you can compare the book vs the movie.
--> Mmm.... yang ini belum ada. Kenapa gak kita beli aja sekarang? *tsaah* *kibas*

12. Freebies Time: What’s the LAST free book you’ve got? Whether it’s from giveaway, a birthday gift or a surprise from someone special, don’t hold back any longer. Open the book and start reading it now :D
--> Ini kategori tanpa harapan. Ada gitu yang mau ngasi buku gratisan ke saya? *duduk manis ngarep*

13. Not My Cup of Tea: Reach out to a genre that you’ve never tried (or probably just disliked) before. Whether it’s a romance, horror or non fiction, maybe you will find a hidden gem!
--> I Shall Not Hate. Buku yang bercerita tentang perjalanan seorang dokter di Gaza ini adalah buku dokumenter non fiksi, yang bukan genre saya sekali. Saya penggemar fiksi dan juaraang menyentuh buku-buku non fiksi. Jadi, mari kita coba seperti apa rasanya. :D



14. Walking Down The Memory Lane: Ever had a book that you loved so much as a kid? Or a book that you wish you could read when you were just a child? Grab it now and prepare for a wonderful journey to the past :D Comic books or graphic novels are allowed!
--> Belom ada jugaaa.. favorit masa kecil sih ada, banyak. Cuma bukunya yang saat ini gak ada. :D 


Wuih, gak terasa, tau-tau semua buku timbunan udah masuk masing-masing kategori ya? Tinggal realisasinya. :D :D :D

Dan dengan ini juga maka Goodreads Reading Challenge saya upgrade ke 14 buku, sesuai jumlah buku minimal dalam RC ini.

So, as Mbak Astrid say, let’s start this wonderful 2014 and get ready to tackle some great books! Yo-ho.


post signature

Book Review : The Chocolate Thief


Judul : The Chocolate Thief
Pengarang : Laura Florand  
Bahasa : Indonesia
Penerbit : Bentang Pustaka  
Tebal : 410 halaman 
Diterbitkan pertama kali : Mei 2013  
Format : Paperback
Target : Dewasa
Genre : Romance comedy (chicklit)  
Beli di : Gramedia

Blurb:
Paris-fashion, romantis, dan cokelat. Namun, tidak untuk wanita Amerika sepertiku. Aku sudah tidak tahan lagi berjalan (sok) anggun dengan high heels ini. Menurutku, Paris juga bukan kota teromantis di dunia. Dan tolong catat, semua ini berawal dari Sylvain Marquis yang dengan sombongnya menolakku untuk bekerja sama.

Oh, God! Apa dia tidak mengenaliku? Aku ini Cade Corey, pewaris takhta Corey Chocolate, perusahaan cokelat terbesar di Amerika. Oke, lihat saja .... Memangnya hanya dia satu-satunya pembuat cokelat terbaik di dunia ini?!

Buku ini tentang:
Cade Corey, miliuner, putri pemilik Corey Chocolate, perusahaan cokelat terbesar di Amerika, yang bermaksud merintis lini bisnis baru berupa cokelat premium. Dalam upayanya merintis bisnis ini, Cade datang ke Paris untuk menawarkan kerja sama bisnis pada Sylvain Marquis, pembuat cokelat terbaik Paris (bahkan dunia) untuk bergabung bersamanya. Tapi Cade lupa, bahwa tidak semua hal bisa dibeli dengan uang, termasuk Sylvain Marquis dan cokelatnya yang menolak mentah-mentah penawaran yang ia ajukan. Setelah menempuh berbagai usaha yang akhirnya gagal, Cade yang putus asa pun memutuskan untuk mencuri saja resep cokelatnya. Buku ini menceritakan tentang usaha Cade meraih keinginannya, perseteruannya dengan Sylvain, dan ketertarikan aneh di antara mereka berdua.
 
Kenapa memilih buku ini?
Saya tertarik pertama kali karena sampulnya. Sampulnya warna peach, one of my favorite color, bahkan cat tembok rumah saya pun warnanya ini. :D Kemudian gambar sosok perempuan yang melintas di depan menara Eiffel membawa tas belanja terlihat manis sekali, khas chicklit sekali. Yang kedua, karena judulnya, The Chocolate Thief, dan saya adalah fans berat cokelat. I need no more reason, sehingga saya yang waktu itu mampir ke Gramedia karena kepingin bacaan ringan akhirnya jatuh hati dan memboyong buku ini ke kasir.

Hal yang disukai dari buku ini?
Banyak menggambarkan makanan yang enak-enak. :D Mulai dari menggambarkan berbagai macam hal tentang cokelat dari bahan baku, cara membuat sampai hasil akhirnya, roti di bakery Prancis, menu di restoran Prancis yang sarat lemak, sampai acara memasak di dapur apartemen. Pokoknya, membaca buku ini membuat saya sering merasa tiba-tiba lapar. :D

Settingnya di kota Paris. Kota yang terkenal romantis ini membingkai manis sebagai latar kisah cinta tarik-ulur antara kedua tokohnya. Cara penulis mendeskripsikan jalanan Paris yang elegan, Seine dengan air yang berkilau, dan bangunan-bangunan pentingnya yang diturunkan sebagai warisan beratus tahun. 

Cara penulis menggambarkan sifat dan hubungan kedua tokohnya yang sama-sama egois dan keras kepala, cukup menarik dan membuat saya tersenyum bahkan tertawa di beberapa bagian. Rasanya seperti melihat drama remaja Korea dimana tokoh utama pria dan wanita berantem melulu sepanjang waktu, padahal sebenarnya sama-sama saling menyukai.

Hal yang kurang dari buku ini?
Alur cerita mudah ditebak, khas chicklit. Dari bab pertama saya sudah menduga bahwa hubungan Cade dan Sylvain akan berkembang menjadi hal yang romantis.  

Terjemahannya. Waduh, ini sempat mengganggu banget di awal membaca buku ini. Entah saya yang kurang mampu memahami kalimat terjemahannya atau versi bahasa aslinya memang begini? Saya bahkan curiga ada paragraf yang diterjemahkan mentah-mentah dari Google Translate. :D Ya, pokoknya, menurut saya kurang mengalir begitulah penulisan kalimatnya. Saya adalah tipe pembaca lambat yang berusaha memahami setiap kalimat dengan membacanya baik-baik, kadang satu kalimat saya baca beberapa kali. Menerapkan kebiasaan tersebut pada buku ini justru menyulitkan saya, karena kalimatnya - ya itu tadi, kadang dibaca malah bikin bingung yang baca. :D Saya baru bisa menikmati buku ini, maksudnya terbiasa dengan cara penulisan kalimatnya, setelah melalui kurang lebih 150 halaman atau sepertiga buku ini. Dan ternyata caranya dengan membaca cepat. Maksudnya nggak usah diresapi bener-bener tiap kalimatnya, dibaca sekali saja terus bablas, eh malah jadi dapet "feel"nya.

Buku ini banyak menggambarkan momen kedekatan antara Sylvain dan Cade yang cukup intens, malah saya berpikir kadang terlalu banyak digambarkan. Tidak sampai adegan yang harus disensor sih, tapi tetap saja kalau terlalu sering, lumayan mengganggu juga. Memangnya nggak bisa ya, Cade dan Sylvain bertemu atau saling memikirkan tanpa berfantasi ke arah "situ"?

Karakter favorit:
Sylvain Marquis. Arogansinya, egonya, seleranya yang tinggi, kata-katanya yang ketus, namun sekali jatuh hati ia akan sungguh-sungguh memberikan hatinya. Dan juga karakteristiknya yang, oh, sungguh charming. :D Caranya memperlakukan Cade, menariknya mendekat, kemudian memutus talinya dengan ketus dan membiarkan Cade menjauh. Lalu menyesal karena sesungguhnya ia sangat-sangat menyukai Cade. Ini tipe-tipe cowok keren tokoh utama drama remaja Korea yang cool, populer, dan jaimnya minta ampun, padahal sebenarnya suka setengah mati. Tipe yang mudah memikat pembaca romance seperti saya. :D

Christophe. Food blogger yang membuat sebal dan cemburu Sylvain ini sebenarnya sosok yang ramah, terus terang, lucu dan ceria. Sebenarnya dia bisa menjadi teman yang baik dan menyenangkan kalau saja Sylvain tidak selalu ingin melempari kepalanya dengan batu. Walaupun tentu saja, Christophe yang riang tidak pernah menyadarinya.

Karakter yang kurang disukai:
Chantal. Hahaha, perempuan cantik - modis - mungil - pirang - anggun - hobi belanja (you name it), dan punya segalanya yang bisa membuat semua perempuan di muka bumi iri, serta punya akses ajaib untuk mendekati tokoh utama pria, dan seperti biasa. Gimana nggak menyebalkan, coba. :D Tapi untungnya, dia hanya muncul sesekali.

Buku ini direkomendasikan bagi:
Yang ingin mencari bacaan ringan dan menghibur. Buku ini mungkin juga menarik minat bila anda adalah penggemar drama remaja Korea atau penggemar cokelat seperti saya. Cocok untuk bacaan di waktu senggang yang santai setelah hari yang melelahkan, sembari meneguk secangkir cokelat panas.

Berapa bintang:
Saya cukup terhibur dengan kisah cinta antara Cade dan Sylvain, walaupun sedikit terganggu dengan gaya penulisan kalimatnya (entah memang begitu atau karena terjemahannya), maka untuk buku ini saya memberikan tiga bintang.

Postingan ini juga menjadi salah satu review untuk New Authors Reading Challenge 2014.


post signature

Wednesday, January 15, 2014

Book Review : The Kitchen House

Akhirnya selesai juga buku pertama di tahun 2014. Butuh sekitar 9 hari untuk membacanya, hoho. Lama yaa.. :D Tapi untunglah selesai. Saya sendiri bahkan tadinya nggak yakin bisa menyelesaikan buku ini, karena udah lamaaa sekali nggak baca buku bahasa Inggris. Terakhir baca buku bahasa Inggris ya Eat, Pray, Love-nya Elizabeth Gilbert, jaman dahulu kala waktu masih lajang. Sementara sekarang udah punya buntut yang udah sekolah dan ceriwis pisan. Bertaun-taun yang lalu berarti yak.

Sebenernya nggak niat mengawali Reading Challenge taun ini dengan buku ini. Ceritanya, pas lagi pacaran jalan-jalan sama Mr. Coffeeholic ke Gramedia, bengonglah saya di depan rak buku impor. Tadinya maksudnya cuma lihat-lihat aja, eh tetiba Mr. Cofeeholic (yang mungkin kasihan melihat saya bengong) mencetuskan pertanyaan retorik, "Mau?"

Hah?? Nanya saya mau apa enggak?
Lah ya jelas mauu.. pakek nanya :D :D 
Tanpa banyak ba bi bu lagi dengan riang gembira pun saya langsung nyaut The Kitchen House, yang sudah membuat kepincut hati dari sejak pertama bengong di depan rak buku impor. 

Membaca halaman-halaman awal buku ini lumayan penuh perjuangan karena udah lama nggak baca novel bahasa Inggris, jadi perlu adjustment karena belum terbiasa. Setelah satu bab terlewati baru mulai terbiasa, mulai enak mengalir bacanya, dan seterusnya sampai selesai.

Ok, enough chit chat :D 
Sekarang mari kita mulai tujuan utama postingan ini, yaitu mereview buku The Kitchen House.



Judul : The Kitchen House
Pengarang : Kathleen Grissom
Bahasa : Inggris
Penerbit : Touchstone

Tebal : 365 halaman
Diterbitkan pertama kali : Februari 2010

Format : Paperback
Target : Dewasa

Genre : Historical fiction
Beli di : Gramedia








Sinopsis :
When a white servant girl violates the order of plantation society, she unleashes a tragedy that exposes the worst and best in the people she has come to call her family. Orphaned while onboard ship from Ireland, seven-year-old Lavinia arrives on the steps of a tobacco plantation where she is to live and work with the slaves of the kitchen house. Under the care of Belle, the master's illegitimate daughter, Lavinia becomes deeply bonded to her adopted family, though she is set apart from them by her white skin.

Eventually, Lavinia is accepted into the world of the big house, where the master is absent and the mistress battles opium addiction. Lavinia finds herself perilously straddling two very different worlds. When she is forced to make a choice, loyalties are brought into question, dangerous truths are laid bare, and lives are put at risk.


Review :

"Abinia," he said, pointing toward the chickens, "you look at those birds. Some of them be brown, some of them be white and black. Do you think when they little chicks, those mamas and papas care about that?"

Hal pertama yang membuat saya jatuh hati dan memilih buku ini adalah kavernya. Kenapa kavernya? Karena kavernya menggambarkan setting yang melatarbelakangi sepanjang jalan cerita The Kitchen House, yaitu Amerika pada akhir abad ke 18 dimana perbudakan masih merupakan hal yang lazim. Novel dengan setting yang khas seperti ini, apalagi melibatkan sejarah di masa lalu, sungguh merupakan my-cup-of-tea genre.

The Kitchen House mengisahkan tentang Lavinia, gadis kecil berusia 7 tahun yang menjadi yatim piatu dalam perjalanan berlayarnya dari Irlandia ke Amerika. Setelah kapal berlabuh di Amerika, kapten kapal membawa Lavinia pulang ke rumah besarnya di sebuah perkebunan tembakau di Virginia, dan menempatkan Lavinia sebagai pembantu di rumah dapur (the kitchen house). The kitchen house yang digunakan para budak untuk memasak makanan bagi penghuni rumah besar berada di bawah pengawasan seorang gadis berdarah campuran negro dan kulit putih bernama Belle. Belle sebenarnya adalah anak yang tidak diakui hasil hubungan antara kapten dengan salah satu budak negro wanitanya. Cerita The Kitchen House dituturkan dari sudut pandang dua orang tokoh utama yaitu Lavinia dan Belle. 

The Kitchen House menceritakan kehidupan sehari-hari Lavinia, Belle dan para tokoh lainnya. Lavinia, gadis berkulit putih tersebut, kemudian tumbuh besar bersama keluarga barunya, para negro kulit hitam budak Kapten pemilik rumah besar. Lavinia mencintai keluarga negronya, namun status mereka sebagai budak kulit hitam telah menorehkan garis pembatas dengan dirinya yang berkulit putih. Novel ini mengungkap sisi gelap perbudakan, perbedaan harga seorang manusia hanya karena warna kulitnya, sekaligus juga mengungkap sisi humanis melalui cinta yang tulus dalam keluarga.

Sebagaimana dikatakan Lavinia :

"...but the day I was awakened to a new realization and made aware of a line drawn in black and white."

Selain setting yang kuat dalam penggambaran lokasi, kostum, kebiasaan maupun makanan yang berasal dari kitchen house yang merupakan keseharian pada masa itu, setting yang kuat dan menarik dibangun pula dari bahasa yang digunakan para budak negro. Jika diperhatikan, gaya bahasa budak negro ini berbeda dengan bahasa yang digunakan Lavinia. Bahasa negro menggunakan kalimat-kalimat sederhana yang tidak menggunakan grammar dengan seksama.  Iyalah, namanya juga budak. Mana ada sekolah bahasa untuk budak. Kemampuan membaca dan menulis saja merupakan barang mewah bagi mereka. :D

Contohnya pada dialog Mama Mae, budak negro yang bijak dan turut membesarkan Lavinia bersama Belle :
"this I know. What the color is, who the daddy be, who the mama is don't mean nothin'. We a family, carin' for each other. Family make us strong in times of trouble. We all stick together, help each other out. That the real meanin' of family. When you grow up, you take that family feelin' with you."

Tokoh antagonis dalam cerita ini adalah Marshall, anak lelaki kapten, pewaris tunggal perkebunan tembakau Tall Oaks yang temperamen dan alkoholik. Marshall menganggap para budaknya tidak lebih berarti dari kuda-kudanya. Ia melakukan hal-hal keji dan sewenang-wenang, yang menjadi awal konflik di Tall Oaks hingga berlarut-larut dan mencapai puncaknya dengan kematian orang yang sangat dicintai dan dihormati Lavinia.

Plot The Kitchen House berjalan lambat. Bagi yang suka cerita dengan plot cepat dan dinamis, cara bertutur The Kitchen House mungkin bisa jadi membosankan. Pada separuh jalan cerita pertama, konflik masih cenderung datar tidak meruncing, setiap konflik yang muncul tak lama kemudian  selalu memiliki jalan keluar. Baru pada separuh cerita terakhir konflik mencapai klimaksnya. Tapi bagi saya ini adalah keuntungan, karena di awal cerita kita bisa menikmati dan membayangkan kehidupan di Virginia pada masa akhir abad 17 tanpa perlu ngelap keringat karena bombardir masalah yang bertubi-tubi. Di separuh awal novel saya rasanya seperti berjalan-jalan di masa kehidupan Little Missy (yang angkatan 90-an mungkin tahu serial Little Missy, telenovela klasik yang tayang di TVRI setiap hari Minggu. Little Missy juga berlatar belakang masa-masa perbudakan.)



Salah satu adegan dalam Little Missy. Picture taken from here.


Yah, kurang lebih saya membayangkannya seperti di atas lah. :D

Tokoh favorit saya adalah Mama Mae tentunya, karena bijak sekali, so wise lah pokoknya, cekatan, dan sepertinya apa-apa bisa. :D Ia yang mendidik dan membesarkan hampir semua tokoh dalam The Kitchen House dan mengajarkan mereka berbagai hal. Saya membayangkan Mama Mae seperti Whoppie Goldberg. :D

Tuu...pantes kan? Picture taken from here.

Kalau tokoh yang kurang saya sukai, malah pemeran utamanya sendiri, Lavinia. Duh mbak Lavinia, jadi cewek kok ya lemah dan rapuh amat. Bukan salah Lavinia sepenuhnya sih, mungkin karena merasa tidak punya siapa-siapa, maka Lavinia tumbuh besar dengan merasa bahwa bila ia ingin diterima maka ia harus selalu berusaha menyenangkan orang lain, kadang tanpa mempertimbangkan perasaan sendiri. Tapi bagi saya rasanya Lavinia ini nggak-saya-banget. Setiap orang punya hak untuk berjuang, mengungkapkan pendapat dan berbahagia. Pasrah nrimo tanpa berbuat apa-apa padahal di dalam hati sangat tertekan sampai depresi, bukannya malah menyiksa diri sendiri? Rugi amat ya. Lho, kok malah jadi saya yang emosi.. :D :D :D

Secara keseluruhan saya menikmati buku ini. Kalau ada beberapa kritik ya pada beberapa scene yang plotnya rasanya lambat, walaupun ini termasuk wajar karena novel ini mengisahkan kehidupan keseharian seorang gadis sampai dia dewasa, and Kathleen Grissom do pay attention to the details.

Di Goodreads sendiri rating buku ini cukup bagus, yaitu 4.14. Saya sendiri memberikan rating 4 bintang untuk buku ini. Karena walaupun tokoh utamanya tidak terlalu saya sukai, tapi genre novel ini adalah genre saya sekaliii...jadi membacanya pun mengalir menyenangkan. :D

Dengan selesainya novel The Kitchen House ini, saya jadi pede untuk membaca buku bahasa Inggris lagi. Dan moga-moga kali ini ada lagi yang menawarkan diri dengan sukarela untuk menjadi donaturnya. *lirik Mr. Coffeeholic*

Posting ini menjadi salah satu review untuk New Authors Reading Challenge 2014. ;)


post signature

Tuesday, January 7, 2014

New Authors Reading Challenge 2014 [Master Post]

Terkait postingan yang kemarin, yang lagi-lagi dalam rangka meningkatkan kuantitas (dan kualitas haha) bacaan saya, akhirnya bergabung juga dengan salah satu Reading Challenge. Reading Challenge (RC) adalah suatu event yang bertujuan memberikan tantangan kepada para pesertanya untuk memenuhi syarat membaca sejumlah buku sesuai tema RC tersebut.

Hasil dari kemarin browsang-browsing gegara terjebak macet Senin pagi yang cetar membahana itu (pas hari pertama anak masuk sekolah setelah libur panjang), nyasarlah saya ke situsnya Ren atau yang lebih dikenal dengan Ren's Little Corner. Wah, ini si empunya situs bener-bener ahli baca kelas kakap. Goodreads 2014 Reading Challenge-nya aja 100 buku, bandingkan dengan saya yang cuma 12 buku. :D

Nah, kebetulan Ren menjadi host dari event New Authors Reading Challenge 2014. Sebagaimana namanya, RC ini bertujuan untuk membaca buku-buku karya pengarang yang belum pernah kita baca. Jadi untuk kita, pengarang itu terbilang baru, karena baru ini kita membaca karyanya. Misalnya, kita belum pernah baca bukunya Dewi Lestari sama sekali, maka bukunya bisa kita deretkan dalam list RC ini. Tapi hanya satu buku saja, karena kalau buku kedua, namanya bukan pengarang yang belum pernah kita baca, kan udah baca buku pertamanya. :D



Ada empat level dalam RC ini :
Easy : 1 - 15 buku
Middle : 15 - 30 buku
Hard : 30 - 50 buku
Maniac : 50 buku

Seperti biasa, nggak muluk-muluk, saya ambil level Easy aja. Namanya juga pemula :D

Ada beberapa persyaratan dalam RC ini, di antaranya :

1. Durasi RC ini adalah setahun mulai 1 Januari 2014 - 31 Desember 2014.

2. Harus buku fiksi dengan jumlah halaman minimal 200 halaman. Ini menguntungkan saya, karena saya memang sukanya buku fiksi. Kurang tertarik pada buku-buku nonfiksi :D

3. Harus karya pengarang baru (dalam artian baru bagi kita karena belum pernah baca bukunya), satu pengarang satu buku, juga tidak boleh re-read.

4. Boleh digabung dengan RC lain. Nah, ini keuntungan karena bisa digabung dengan RC-nya Goodreads ini. (Ketahuan orang males :D)

Persyaratan dan penjelasan lebih rinci bisa langsung cek di website nya Ren.

Jadi akhirnya saya pasang juga banner New Authors Reading Challenge 2014, dan mari sumangat RC-nya Kakaaa..........


post signature

Monday, January 6, 2014

Goodreads 2014 Reading Challenge

Ah... Akhirnya saya bergabung juga dengan Goodreads 2014 Reading Challenge. Ini sebenarnya dalam upaya memperbaiki tingkat kuantitas bacaan saya. Kenapa kuantitas? Kalau minat baca sih, melimpah ruah, karena pada dasarnya sukaaaa baca.

Cuma ya itu, kadang tinggal sebatas wacana saja, ujung-ujungnya minat itu tenggelam oleh kesibukan ngurus anak, kecapean di perjalanan Jakarta-Bogor PP saban hari jadi alih-alih baca di KRL, malah tidur sepanjang perjalanan :D, belom kalau di rumah yang dipegang malah jarum sama benang, hahaha.... Intinya kebanyakan alasan, sehingga akhirnya, gak jadi-jadi juga buat baca.

Padahal dulu waktu masih muda (masih lajang dan nebeng orang tua, maksudnya :D), tempat main favorit saya salah satunya ya rentalan buku (berhubung kantong masih cekak). Saya beruntung karena di kota tempat saya dibesarkan, bisnis rental buku cukup menjamur dan mudah ditemukan. Bahkan ada rental buku yang isinya buku-buku bagus dan berkualitas loh. Saya membaca Raumanen, salah satu buku paling berkesan yang pernah saya baca, ya hasil dari nge-rental di situ. :D

Dulu, karena belum banyak ang ing ung eng ong, kerjanya cuman sekolah-makan-tidur doang sama disuruh-suruh Ibu :D jadi reading speed saya lumayan lah, misalnya untuk buku komik jepang-jepangan gitu (manga), semalem bisa 10 buku. Sampai diancam sama Ibu, buku-bukunya bakal disita kalau saya nggak kunjung tidur. Kalau untuk novel, tergantung ceritanya. Kalau gak gitu suka bisa cepat, karena pingin cepat selesai dan ganti bacaan :D. Tapi kalau suka, malah justru lebih pelan bacanya, kayanya pingin meresapi setiap kalimat.

Nah, berhubung hidup saya sekarang sok banyak acara dan sok ribet, yang ujung-ujungnya jadi kesempatan (dan kemauan) membaca buku anjlok drastis, akibatnya reading speed pun ikut ndlosor. Untuk And The Mountains Echoed kemarin saja, dua minggu baru kelar deh kayanya. (-___-")

Jadi dengan niatan ingin memperbaiki tingkat baca, saya bergabung di Goodreads 2014 Reading Challenge. Gak muluk-muluk dulu, wong mulai dari awal lagi, jadi set target 12 buku aja untuk tahun 2014, artinya satu bulan satu buku. Itu juga rada ragu2, takut kumat-kumatan, haha.... Anyway, at least I'm trying ;p. Tuh, Goodreads widget-nya bahkan udah ditaroh di sidebar, jadi udah diumumkan kepada khalayak :D

Dan semoga setiap selesai buku yang dibaca, berakhir juga dengan menulis review-nya. Paling males ya bok kalo urusan nulis review ini, karena harus berbasis mood. Harus suam-suam kuku dari selesai bacanya, jadi feeling-nya masih dapet. Kalau kelamaan, kadang suka ilfil dan bingung mau gimana nge-review-nya. Padahal yang namanya ngupdate blog juga angot-angotan :D Yah, mungkin ini juga menjadi suatu pertanda bagi saya untuk lebih rajin juga mengisi halaman di sini dan menyingkirkan potensi angot jauh-jauh.

So, let's start with the first book.

Sumangat, kakaaaaaa......


post signature